Restorasi Ekosistem dan Perubahan Iklim

Adakah kaitan antara Restorasi Ekosistem dengan perubahan iklim? Tentu saja ada.

Restorasi Ekosistem (RE) merupakan upaya untuk memulihkan kondisi hutan alam sebagaimana sedia kala sekaligus meningkatkan fungsi dan nilai hutan baik ekonomis maupun ekologis. Izinnya yang dinamakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Lokasinya berada di hutan alam produksi.

P1200710_1RE adalah upaya pengembalian unsur hayati (flora dan fauna) dan nonhayati (tanah, iklim, tofograpi) suatu kawasan kepada jenis aslinya berikut keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Bila selama ini kayu sebagai primadona, melalui RE banyak jenis manfaat yang bisa dipetik. Mulai dari tanaman biofarmaka (obat) dan bioenergi, penyerap karbon, ekowisata dan ilmu pengetahuan, hingga jasa lingkungan. Hasil kayunya juga dapat dimanfaatkan berbarengan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu (non-timber forest products) seperti madu, jernang, rotan, bambu, getah, dan buah-buahan.

Kementerian Kehutanan melalui SK.5040/MENHUT-VI/BRPUK/2013 tanggal 21 Oktober 2013 telah mencanangkan areal hutan produksi yang akan di restorasi seluas 2.695.026 hektar. Berdasarkan data Ditjen Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan (BRPUK) hingga akhir Desember 2013 terdapat sebanyak 47 pemohon yang telah memasukkan permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Namun, baru sekitar 12 pemohon diantaranya telah mendapatkan ijin dengan total areal 480.093 ha.

Sebaran-REKaitan Perubahan Iklim dan Restorasi Ekosistem di Mata Para Ahli

Bagaimana dengan perubahan iklim? Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) dan karbon dioksida (CO2) yang berimplikasi pada meningkatnya permukaan air laut. Perubahan iklim ini tentunya berdampak negatif terhadap seluruh negara di dunia, terlebih negara kepulauan. Berdasarkan laporan World Bank dan Regional and Coastal Development Centre of ITB (2007), perubahan iklim akan berdampak serius pada Indonesia. Diperkirakan, dalam 30 tahun ke depan, sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam ketika peningkatan air laut mencapai 0,80 m.

Negara-negara di dunia pun sepakat untuk menangani “hantu” perubahan iklim ini dengan berbagai cara. Namun, secara umum yang sering didengungkan adalah melalui mitigasi dan adaptasi. Mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi meningkatnya peredaran GRK ke atmosfer yang sangat penting melindungi bumi dari pancaran langsung sinar matahari. Sedangkan adaptasi adalah upaya cerdas kita menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan yang berubah akibat iklim yang berubah juga.

Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, menuturkan bahwa RE tidak hanya memulihkan keanekaragaman hayati dan meningkatkan pendapatan penduduk lokal. Tetapi juga, secara langsung mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menambah simpanan karbon di atas permukaan tanah dan menjaga lepasnya karbon yang tersimpan di bawah tanah.

Menurut Agus, simpanan terbesar karbon itu berada di lahan gambut. Kaitannya dengan restorasi ekosistem adalah, lahan gambut harus menjadi prioritas restorasi di masa depan, baik yang sudah dimoratorium maupun yang ada di luar kawasan, karena cadangan karbonnya yang begitu besar. Jumlah karbon yang tersimpan di bawah permukaan lahan gambut hanya untuk kawasan seluas sembilan persen. Sisanya yang 91 persen berada di lahan mineral yang stok karbonnya hanya 41 persen.

Indonesia pun berkomitmen dalam mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen dengan kemampuan sendiri. Dengan bantuan dunia internasional menjadi 42 persen hingga tahun 2020 nanti. Jumlah karbon yang ada terhitung dari tahun 2009 hingga 2020 diperkirakan sekitar 1,6 giga ton.

Agus juga mengatakan bahwa kawasan hutan yang tidak dikelola dengan baik merupakan kondisi yang mengkhawatirkan. Untuk itu, hutan harus dipulihkan dengan cara meningkatkan luasan hutan alam yang akan direstorasi. “Semakin banyak RE yang dilakukan, semakin kuat juga masyarakat menghadapi perubahan iklim” tuturnya.

P1200691_1Mangarah Silalahi, Kepala Resource Center, Pengembangan Restorasi Ekosistem Burung Indonesia, menuturkan bahwa RE diyakini dapat berkontribusi besar terhadap upaya mitigasi di sektor kehutanan. RE merupakan pendekatan baru dalam membangun adaptasi perubahan iklim berbasis ekosistem. “Selain itu, RE berpeluang menyatukan bentang hutan alam yang terpisah bahkan mengurangi laju deforestasi dan emisi karbon, “ujarnya.

Pemerintah telah menetapkan kehutanan sebagai sektor utama (leading sector) untuk mencapai target penurunan emisi GRK. Untuk itu, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penerapan strategi pembangunan rendah karbon. “Restorasi Ekosistem akan memainkan peran yang sangat penting dalam perubahan iklim ini,” lanjut Mangarah.

Dodik Ridho Nurrochmat, Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB, punya pandangan kritis. Menurut Dodik memang benar tujuan RE di hutan produksi adalah memulihkan unsur biotik dan abiotik hingga tercapai keseimbangan hayati. Namun begitu, hingga kini belum ada peraturan yang jelas dan terukur mengenai kriteria pencapaian keseimbangan hayatinya.

Tolok ukur yang dapat dipertimbangkan adalah kembalinya kondisi asli ekosistem seperti tutupan vegetasi asli, bentang alam, serta ragam flora dan faunanya. Selain itu, adanya besaran stok karbon yang dapat dijadikan referensi pada tingkat tapak yang berkontribusi bagi pengurangan emisi dalam skema REDD+.

Dodik juga mengkritisi batasan minimal keberhasilan RE sebagai green business yang sebaiknya ditetapkan secara filtering, bukan weighting. “Filtering lebih berorientasi pada pemulihan fungsi produksi hutan yang selanjutnya diikuti perbaikan ekologi dan berujung pada keterimaan secara sosial. Sementara weighting lebih mengutamakan fungsi hutan untuk produksi,” terangnya.

Sebagai inovasi yang bernas dan cerdas, RE dipastikan memiliki masa depan yang cerah. Terlebih, skema ini tidak merugikan negara, sebaliknya sangat membantu. Untuk itu, harus ada legal framework yang sifatnya koalisi agar RE akan selalu didengar oleh para pengambil kebijakan di Indonesia ini.

Ini penting, mengingat luas hutan alam produksi Indonesia saat ini sekitar 73,9 juta hektar. Dari luasan tersebut, sekitar 35,04 juta hektar telah mendapatkan izin pemanfaatan yang termasuk di dalamnya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) seluas 480.093 hektar.

Untitled_1Sebagaimana yang disampaikan Agus Purnomo, setiap lima tahun sekali kita memiliki kesempatan untuk memperbaiki kondisi negeri ini. Caranya, kita harus mendukung presiden yang peduli lingkungan, yang membuat peraturan yang lebih baik dan tidak terkotak-kotak pengelolaannya. Bebas interfensi politik. Sebagai gambaran, saat ini kewenangan pemerintah pusat (Jakarta), daerah, dan kehutanan masih pecah. Situasi yang menyedihkan, tentunya.

Jadi, sekarang lah saat yang tepat untuk kita bersikap.*

Lihat juga tulisan ini di tautan berikut:
http://www.mongabay.co.id/2014/05/24/restorasi-ekosistem-dan-perubahan-iklim/
https://id.berita.yahoo.com/restorasi-ekosistem-dan-perubahan-iklim-000802930.html

Leave a comment